Minggu, 25 Januari 2009

Test Pack

At first, gue bener-bener ngga tertarik baca novel ini walaupun temen-temen gue, Pre dan Ticha sibuk ngebahas ini di kelas. Bahkan, Ticha sengaja bawa Test Pack ke kelas biar gue bisa baca sekilas dan akhirnya tertarik buat beli. And it didn't work. Gue underestimate banget sama buku ini, cause I thought it just a teenlit novel yang kacangan dan ngga nendang ( huehehe... gaya! )

Mungkin karena udah saking keselnya sama diri gue yang kepala batu ini, Pre sampe bilang 'Lo bakal nyesel banget Yan, kalo ngga baca buku ini. Ini tuh BAGUS BANGET. Karakternya si Tata (nama tokoh utama cewenya) emang cewek banget. Dan suaminya, si Rahmat (nama tokoh utama cowonya) itu tuh tipe cowok yang emang kita pengenin tau!Serius deh Yan. U MUST HAVE THIS ONE!'

Well, agak-agak penasaran juga sih sama buku ini. Masak sih si Ticha sama Pre sampe segitunya. Untuk urusan buku, mereka itu termasuk orang-orang yang gue dengerin recomendationnya. They really know, mana buku bagus dan ngga. So, yaaa... bercampur antara penasaran dan agak berat hati akhirnya gue beli buku ini juga (in couple months later, hehehe...)

Is it good?? Damn Good!! Matter of fact, I should say thanks to Pre and Ticha for insisting me to have this book :)

Gue bisa bilang, kalo buku ini punya 'magical power' for dragging my attention since the first time I read its first line. Mata gue kayak ngga mau berhenti buat baca buku ini. It tooks only one day for me to finished it. One day, dari siang sampe malam. Dan pas terakhirnya, gue mewekkk.... hikshikshikhikssss... endingnya bikin sedihhh... Bukan karena sad ending, tapi emang touching abissss... hiskhiskhiskhiskkk....

Setelah inis, setiap ada temen gue yang nanya; enaknya beli buku apa ya Ta? Gue langsung nge-rekomenin buku ini buat dibeli sama mereka. 'ngga nyesel deehh' gue selalu bilang seperti itu ke mereka, biar mereka ngga usah mikir dua kali buat mutusin beli (karena emang worth koookk). Sayangnya, buku Test Pack ini udah jarang di temuin di toko buku. Mungkin karena udah ngga diproduksi lagi. Untunggggggggg ajah, gue udah keburu beli dan baca. Kalo ngga, (seperti kata pre), gue bakal NYESEL BANGET!

Anyway, this is my favorite part dari buku Test Pack, yang gue baca berulang-ulang saking sukanya, hehehehe.... Kebetulan, this is the ending part of this book. Maap ya....jadi ngebocoring endingnya, hehehe...

Banyak hubungan yang patah hilang dan berganti karena tidak memiliki komitmen.

I love her bcause of the way she treats me.
I love him because of the way he makes me feel
I love her because she's so beautiful
I love him because he's falling on my feet with roses and jewels

Orang sering mendasari cinta atas hal-hal yang dianggap indah

It may sound romantic dan melakukan hal tersebut bukan sesuatu yang salah. However, sometimes too romantic that we often hear people saying that in a cinema, with us eating pop corn and sush-ing rude poeple.

Jarang dari mereka (dan mungkin kita sendiri) berpikir:

I lover her because of the way she treats me
(what happens if she stops treating you the way you love?)

I love him because of the way he makes me feel
(then what happens if he stops making you feel the way?)

I love her because she's so beautiful
(three weeks later, a bus hit her)

I love him because he's falling on my feet with roses and jewels
(out of the blue, he's broke that he couldn't buy you roses and jewelry anymore)

Jarang ada yang mengatakan: 'Saya sayang dia karena saya INGIN sayang dia'

Itulah komitmen.

Sebagian dari kita mungkin ada yang mencintai seseorang karena keadaan sesaat. Karena dia baik, karena dia pintar, even mungkin karena dia kaya. Tidak pernah terpikir apa jadinya, kalau dia mendadak jahat, mendadak tidak sepintar dahulu, atau mendadak miskin.

Will you still love them, then?

That's why you need commitment.

Don't love someone because of what/how/who they are.

From now on, start loving someone,

because you want to.

THE END.



Senin, 22 Desember 2008

A Cat in My Eyes

This books is written by Fahd Djibran. Although this is the second book of him, but I never heard his name before. Or at least saw his name on a book that I found in Gramedia or other book store.

The things that make me, finally, bought this books was Dee's recommendation. Through her blogs, Dee said that this book is a must. Dee has read his first book called Kucing. And she fall in love with Fahd ever since.

Gue jadi penasaran, kayak apa sih tuh buku? Yang udah bikin Dee angkat jempol. I mean, Dee is trully my faforit author. Idola, kalau bisa dibilang. Dan gue wondering, siapa sih yang bisa bikin idola gue ini berdecak kagum. Who is he, anyway?

Iseng, gue searching buku pertamanya dia, Kucing. Yang katanya Dee is a magnificent book. Poor me, buku itu udah gak lagi dicetak. Yah.. emang udah sekitar 2 tahun lalu sih. Dan tau sendiri lah, buku yang ngga gitu nge-booming pastinya ngga pernah dicetak banyak. Akhirnya, gue mesen buku nya yang kedua, A Cat in My Eyes. At first, gue pikir ini seperti sebuah novel. Well, ternyata.. bukan. Ini adalah kumpulan cerpen. Even Fahd mengakui, kalau konsep seperti ini lahir setelah dia baca Filosofi nya Dee, dan tertarik buat bikin buku yang seperti kumpulan prosa, cerpen, puisi, or whatever you might called.

Pertama ngebaca, jujur... gue agak-agak bingung dengan gaya menulis Fahd. Gue kadang bingung, apa yang pengen dia ceritain lewat ceritanya? Apa pesen yang pengen Fahd kasih tau ke gue, pembacanya? Entah gue nya yang telmi, sampe ngga bisa nangkep, ato emang Fahd nya yang kelewat cerdas sampe gue ngga bisa ngikutin jalan pemikirannya dia. Ntahlah.

Gue bahkan harus re-read beberapa kali buat tahu maksudnya. At least, biar bisa menikmati tulisannya. Gue jadi berasa bego deh baca bukunya, hehehehe...

Yang gue salut dari seorang Fahd adalah kemauannya dia untuk mengulas hal-hal kecil yang terkadang kita lewatin begitu saja. Dia bisa membuat satu yang biasa saja menjadi sebuah diskusi panjang lebar yang semuanya bermuara pada satu hal: Hanya TUHAN yang tahu.

Salah satu tulisan Fahd yang jadi faforit gue adalah, Pertanyaan Untuk J (gue juga ngga tau J ini siapa, dan Fahd juga ngga bilang J ini siapa):


Di sebuah mesjid besar, dengan pengeras suara ratusan megawatt, sebuah monumen peristiwa sakral disiarkan secara langsung ke seluruh kota. Ke setiap rumah.

"Ya Tuhan, Engkau Maha Dekat. Engkau Maha Dekat." Ustadz berkoko dengan dada yang belah itu berteriak-teriak lewat pengeras suara. "Saudara-saudara, Tuhan itu Maha Dekat!"

Lalu, suaranya melengking nyaring membacakan jutaan ayat.

Di tempat lain, di depan televisi, Maria tiba-tiba bertanya pada mamanya, "Ma, Tuhan itu beneran Maha Dekat?"

"Iya, Sayang." Mamanya menjawab sambil mengangguk berlinangan air mata terhipnotis televisi.

"Kenapa Pak Ustaz harus manggil-manggil Tuhan pakai pengeras suara? Tuhan itu, kan, dekat?"




DUEERRR... No offense yah. Tapi emang logikanya memang begitu, bukan?

Extraordinary and brilliant idea!! I think I started to like Fahd, hihihihihi...

Gue juga sepotongan puisinya Fahd di TUBUH:



Telah kujadikan jiwaku mengikatmu
Dengan simpul mati itu,
Pegang, peganglah
Kemudian, rasakan jantungku
Yang berdebur atasmu
Dari setiap ritmik
Dari setiap titik




Speechless....

Sabtu, 29 November 2008

Filosofi Kopi




I am a huge fans of Dewi Lestari a.k.a Dee. Therefore, I don't have to think twice to buy this book. I even don't peak the contents just to make sure that this is the good one. Dee itu udah jaminan mutu deeh. Hehehehe...

Alasan gue suka sama Dee adalah dia bisa menjabarkan sesuatu yang sederhana dengan cara yang jauh dari kata simple. Dee bisa berkata-kata dengan bahasa yang puitis dan kosa kata yang keren menurut gue. Dia bahkan bisa ngejelasin sesuatu yang selama ini kita tahu tapi belum menemukan kata yang tepat buat menjelaskan itu semua. Kadang kita ngerasa sedih akan sesuatu, marah karena sesuatu hal, tapi kita ngga bisa menjabarkan perasaan hati kita saat itu. Marah yang bagaimana. Sedih yang seperti apa. Dan dia, bisa menjelaskan itu semua dengan gamblang dan perfect, menurut gue.

Well anyway, buku ini bukan novel. Ngga kayak 3 karyanya dya yang sebelumnya, Supernova yang cenderung berat. Disini dya hadir lebih modern tapi tetep terdengar filasafah. Lebih ringan, tapi tata katanya tetap kompleks dan ngga kacangan. Ini adalah 18 kumpulan cerita dan prosa karya Dee yang terkumpul selama satu dekade. Buat yang ngga terlalu suka novel, gue ngerekomenin buku ini. Banget!

Ada satu prosa karya Dee yang gue suka banget di Filosofi Kopi ini. Saking sukanya, gue bahkan nulis ulang prosanya terus gue kasih ke temen-temen gue yang emang suka sama Dee juga. Judulnya Spasi.

Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?

Bukankah kita baru bisa bergerak jika ada jarak? Dan saling menyayang bila ada ruang? Kasih sayang akan membawa dua orang semakin berdekatan, tapi ia tak ingin mencekik, jadi ulurlah tali itu.

Itu sedikit cuplikan dari Spasi. Secara garis besar sih, ini menceritakan tentang suatu hubungan yang terlalu di kekang. Ibaratnya pasir, yang semakin keras kita menggenggam, semakin banyak yang jatuh dari tangan kita. Dan Dee menceritakan itu dengan caranya sendiri. Dengan menganalogikan jarak sebagai "spasi" itu tadi. Well, kita semua memang butuh jarak bukan?

Ada lagi yang gue suka disini. Judulnya Jembatan Zaman.

Bertambahnya usia bukan berarti kita paham segalanya. Tak bisa kembali ke kacamata yang sama bukan berarti kita lebih mengerti dari yang semula. Rambut putih tak menjadikan kita manusia yang segala tahu. Jembatang yang rendah diri, bukan kesombongan diri.

Kadang kita selalu ngerasa kalo, bertambahnya umur berarti kita lebih pintar, lebih expert, lebih dan lebih lagi. Kita ngga tahu, kalo ternyata umur juga mengambil kesenangan. Waktu kita kecil buat kita permen itu anugerah!
Sekarang sih, makan permen ya biasa ajah. Gak ada yang special dengan sebuah permen. Perasaan seneng waktu kita dapet permen antara waktu kita kecil dengan kita yang sekarang udah jauh berbeda. Kita ngga ngerasain perasaan happy yang membludak waktu kita akhirnya berhasil makan permen. Everything's changing.Dan ternyata, bertambahnya usia gak menjadikan kita lebih baik dari sebelumnya.

Itu cuman 2 dari 18 prosa yang ada di sini. Yang laen juga bagus-bagus. Cuman, kayaknya kepanjangan kalo gue bahas disini. Hehehe... Pokoknya harus beli. Karena banyak banget pelajaran hidup yang bisa kita ambil dari sini. Dee is brilliant author for me.

It's an authentic book. Indeed.




Selasa, 25 November 2008

Kamu Sadar, Saya Punya Alasan Untuk Selingkuh 'kan Sayang?




So sorry, the picture looks so small. Ini hasil nyari di search engine kayak yahoo dan google. Gak ada yang pixelnya gede, biar keliatan disini. Pengen sih nge-scan cover bukunya, tapi kok gue males ajaaahh :p.

Agak sedikit kaget campur penasaran, waktu pertama kali ada nama Tamara Geraldine as an author on that book. Tamara? Nulis? Since when? Penasaran sama isi bukunya, gue langsung nyari versi yang udah kebuka cover nya di toko buku Gramedia. Dan... yahh.. inilah gak enaknya hunting buku di toko buku 'biasa', selalu ajah gak nyediain versi dummy nya. Gak kayak aksara, QB (yang sayangnya udah gak buka lagi), ato Kinokuniya. Padahal apa sih ruginya ngasih satu buku aja buat dijadiin dummy. Toko CD aja ngga pernah complain kalo kita buka covernya minta dengerin lagu-lagu nya walaupun kita ngga beli. Padahal harga CD sama buku kan rata-rata mahalan CD!!! (GRRRRrrrrrr... kesel pelit banget sih)

Karena ngga berani ambil resiko beli buku jelek, akhirnya gue musti nunda dulu buat beli bukunya Tamara, dan milih buku laen yang gue tau udah jelas bagus setelah liat dummy-nya (ato Gramedia sirik sama Tamara, makanya bukunya Tamara gak dikasih dummy, hihihi... ngadu domba banget nih gue)

The next month, gue memantapkan diri buat beli bukunya Tamara, stelah diyakinin sama Gil (temen gue yang gila buku jg), kalo bukunya dia bagus.

Dan emang gak nyesel. Banget. Baguuuusss... Buku ini bukan novel yang panjang dan bikin sesek mata pas bacanya. Tapi ini kumpulan 12 cerpen yang tiap ceritanya selalu bikin gue tambah semangat buat baca terus sampe abis.

Gue bener-bener gak nyangka. Seorang Tamara bisa punya daya imajinasi se liar ini. Bahasanya jauh dari puitis apalagi mendayu-dayu. Cenderung keras (bukan kasar), straight to the point dan tajam menohok. Satu lagi, dia bisa ngasih gambaran ke gue about others life yang mungkin jauh dari perkiraan gue dan mungkin orang-orang lainnya, tapi itu ada. Riil.


Kayak di salah satu Cerpennya yang judulnya U Turn. Nyeritain gimana seorang ibu yang punya suami doyan having sex sama pelacur. Tiap malam, si ibu ini menyilet tanggannya buat ngilangin perihnya hati. Darah dari lukanya ini, di ulas ke tembok kamarnya. Waktu si ibu ini milih buat cerai, anak semata wayangnya ngga terima dan memilih buat mengunci diri di dalam kamar. Di tengah perjalanan menuju pengadilan agama, si Ibu ini dapet telvon dari rumah yang ngabarin kalo anaknya terluka. Ternyata, waktu di lihat sama si Ibu, anaknya udah tergeletak di kasur dengan urat nadi teriris (mengikuti kebiasaan si Ibunya)

Ini adalah paragagraf terakhir dari U Turn:

Aku histeris berteriak. Anakku berbaring tak bergerak. Mukanya pucat. Ia telah menjadi mayat. Anakku memang tidak mewarisi nama Ibunya. Anakku mengambil sifat dan kepala batunya. Ibunya menyayat lengan, anakku mengiris habis pergelangan. Aku marah pada benda-benda tajam yang tertinggalkan. Aku marah pada tanda-tanda darah yang kupamerkan.Suamiku melihat tanda itu sesudahnya memikirkan. Anakku melihat tanda it selanjutnya menirukan. Anakku memotong nadinya terlalu dalam.
Hari ini hari perceraian. Hari ini kami tidak jadi ke pengadilan. Hari ini kami ke kuburuan.

Setelah ngebaca buku ini dari Cerpen pertama sampai Cerpen yang terakhir, gue ngerasain banyak rasa pahit yang dituangkan sama Tamara di bukunya. Banyak masalah tentang perceraian, pengkhianatan, hubugan sesama jenis, hubungan anak dan Ibu yang ngga akur, sampe hubungan kekecewaan terhadap Tuhan yang di angkat di sini. Sampai gue akhirnya mikir "Inikah hidupnya seorang Tamara?" Ntah kenapa, gue kok ngerasa, ada sisi tersembunyi dari dia yang pengen dikeluarin disini. Sometime as an author, lo gak bisa untuk tegak berdiri antara profesionalisme dan kehidupan pribadi. Dua soal ini jadi mengait satu sama lain. Kedengerannya sih sok tau ya? heheh.. tapi, yahh.. ini yang gue tangkep lho.

We all know kalo Tamara mengadopsi seorang anak. We also know kalo suaminya itu adalah Vietnamesse. Ntah kenapa, gue ngerasa ini adalah bentuk dualisme nya seorang Tamara as an author and as person (yang mungkin bercampur dengan imajinasinya)

Istri saya tiba-tiba mengambil seorang anak untuk kami adopsi. Bagaimana mungkin saya bisa mencintai anak yang bukan darah daging kami sendiri? Kalau kedua orangtua biologisnya saja membuang anak itu, mengapa saya (yang diketahui betul oleh istri saya sebagai anti sosial) harus bertanggung jawab atasnya? Juga bagaimana mungkin seluruh keluarga istri saya seakn-akan mendukung keinginan gila anak mereka? Saya seperti orang lemah yang dipaksa membuka mata yang bukan dipakai untuk melihat jalan.....


Gue punya kebiasaan aneh waktu baca buku. Selaen baca ceritanya, gue juga baca .... kata pengantarnya. hhihihihi... Gue suka aja baca nya, karena disitu pasti seorang penulis mengucapkan terima kasih untuk siapa-siapa yang yang dia anggap berjasa buat mewujudkan buku itu. Sebuah karya ngga bakal bisa dinikmatin sama khalayak luar tanpa ada bantuan dari banyak pihak kan? Baik itu materi, doa, dukungan, moment berbagi dan apalah itu. Langsung maupun tidak langsung.

Perlu gue akuin, so far, Tamara-lah yang membuat gue terkagum-kagum dengan caranya dia mengucapkan terima kasih kepada sanak keluarga, dan kerabatnya. Kata-katanya keren dan bikin gue betah buat bacanya berulang kali as if it is the 13 th short story that she wrote on the book. Hehehe...,This is the most faforite thank u line that she said:

Kasih dan hormat pada Leopold Tambunan dan Yusni Sibarani yang mungkin letih dan makan hati demi selalu berusaha memahami anaknya yang sulit ini. Percayalah, aku mencintai kalian meski dengan caraku sendiri.

My two great sisters Kika dan Ui, two brothers Coky dan Joy, in law Aldrin, terimakasih untuk tidak pernah berubah. Mengingatkan bahwa kadang mengejar tujuan adalah dengan cara berlari pulang.

My solid right hand dalam suka dan duka, situasi tenang maupun terburu-buru, jalan umum maupun tol, lalu lintas lenggang atau macet sampai turun mesin memisahkan kita. Terimakasih Karjo, Tuhan memberkati kamu sekeluarga.

Terakhir, buat dia dan dia yang menyerahkan diri menjadi teman membunuh malam-malam yang kadang tinggal terlalu lama di kamar tempatku memulai semua tulisan ini. Terimakasih buat cinta kita yang akhirnya teruji dan dijalani dengan cara tersepakati dalam hati. Sesuatu yang takkan pernah habis kuberi walaupun teriris mati tentunya hanya cinta...


Can't wait for her next books. U rockkk TeGe. U become one of my faforite and inspiring author.









Senin, 24 November 2008

My first book that I bought with my own bills




Ini adalah buku pertama yang gue beli dengan duit jajan gue sendiri. Harganya dulu masih Rp. 8.900. Dan duit jajan gue sebulan masih Rp. 20.000 per bulan (5000 perminggu, itu berarti seharinya gue dapet jatah Rp.1000) Eitss.. ini gue masih di madiun ya. Yang apa-apa serba murah di sana. Jadi, dapet uang saku seribu per hari itu emang standardnya gue pas masih jaman smp, taon 1997an gitu deh.

Dengan harga buku segitu dan duit jajan yang cuman segitu, it means gue harus rela ngiriiittt jajan banget, demi bisa beli nih buku. Dan pas kebeli, emang senneeeenggg banget sih, puas gitu. Gue masih inget banget beli nya dimana. Di sebelah tempat les gue, Primagama. Gue lupa nama tokonya apa.

Dari pertama beli, gue langsung suka banget sama buku ini, dan jadi pengen beli lagi, pengen beli lagi. Sayangnya gue musti nunggu sebulan kemudian buat beli buku. Nunggu dikasih duit jatah jajanan per bulan yang di kasih nyokap. Kenapa gak minta beliin aja sama nyokap?? GAK DIKASIH. Serius. Mo ngerengek kayak apa, bonyok kayaknya gak tergerak sama sekali buat beliin gue buku. Sempet kesel sih. Kok pelit banget yaaa...

Well, akhirnya gue ngerti sih kenapa mereka gak mo beliin gue buku dan tega aja ngeliat gue ngirit duit jajan demi bisa beli buku. Biar gue bisa sayang sama buku. Kalo gue ngerasain susahnya buat beli satu buku, gue pastinya akan lebih bisa ngehargaiin buku gue itu dan lebih ngerawat. It's works for me. Gue emang jadi lebih bisa ngejaga buku-buku gue itu sampe sekarang. Disampulin, dilap tiap minggu, dan ditaruh rapi di rak buku. Gak kayak nasib-nasib buku gue lainnya yang dibeliin nyokap. Ntah itu berakhir di tangan temen gue (pinjem gak balik) ato ilang ntah dimana karena gue teledor berat. Hehehe...

Anyway, buat yang masa kecilnya dihabiskan buat baca buku Goosebumps kayak gue, pasti tau bangeeetttt ciri-ciri penulis R.L Stine kalo nulis bukunya. Dia SELALU mendeskripsikan tokoh ceritanya secara jelas. As example : "Joy tampak eksotis seperti biasa. Ia memiliki mata hijau agak sipit, kulit zaitun, bibir penuh berwarna gelap, dan rambut hita lurus tergerai di punggung hampir mencapai pinggang" Dan itu SELALU. Di awal2 cerita dia memperkenalkan tokohnya pasti kayak gitu, huahahah..

Dan selama satu tahunan itu gue beli buku Goosebumps terus di tempat yang sama. Hahaha... Gak kreatif banget. Tapi, gue akhirnya bosen sendiri. Karena ya, walaupun jalan ceritanya beda-beda, inti ceritanya toh sama aja dan cenderung bisa ketebak. Yang awalnya gue selalu deg-deg-an cenderung parno abis setelah baca bukunya, gue jadi bebel aja bacanya. Udah kayak baca komik. Gak ada tantangan lagi. Hehehe...

Sedihnya, buku Goosebumps gue itu banyak yang ilang pas gue pindahan ke Jakarta hukksss... Tinggal 10 an gitu sekarang. Kertasnya juga udah coklat-coklat gitu kemakan umur kali ya? Moga-moga aja masih berbentuk pas ntar gue warisin ke anak gue. Hehhee...